Jakarta, NR - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham Widodo Ekatjahjana menyatakan, dewasa ini berkembang kembali diskursus mengenai sistem pemilihan legislatif seiring adanya gugatan terkait uji materi UU Pemilu tentang penerapan sistem proporsional terbuka dalam Pemilu 2024. Sistem pemilu dinilai sudah saatnya dievaluasi. "Tentang sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup sebenarnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Karenanya, eksplorasi terhadap pilihan-pilihan sistem pemilihan umum tidak boleh hanya dilakukan pada perspektif praktis-pragmatis belaka, tetapi harus dilakukan guna penguatan demokrasi Pancasila," terang Widodo yang disampaikan oleh Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional BPHN, Yunan Hilmy sebagaimana tertuang dalam siaran pers BPHN, Jumat (24/2/2023).
Hal itu juga disampaikan dalam focus group discussion (FGD) dengan tema 'Penguatan Sistem Pemilihan Umum Legislatif dalam Demokrasi Pancasila'. Di tempat yang sama, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni menyampaikan evaluasi terhadap sistem pemilu perlu dilakukan, namun harus secara menyeluruh. Urgensi evaluasi terhadap sistem pemilu juga diamini advokat Sururudin. Menurutnya, sistem yang ada saat ini mengandung banyak masalah. Konsep one man, one vote, one value ternyata menghasilkan benturan besar di masyarakat. "Tidak populer lagi seorang caleg menawarkan ide/kebijakan, akan tetapi menawarkan uang, proyek dan jabatan. Kemudian dalam beberapa kasus, pemilu justru memicu perpecahan. Ini berarti ada problem. Pemilu saat ini jadi alat pemisah, karena kepentingan warga atau kepentingan elit politik itu sendiri," jelas Sururuddin.
Sedangkan menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Jimly Asshiddiqie, Indonesia perlu untuk melembagakan sistem politik di Indonesia agar menghindari konflik kepentingan. Namun hal tersebut mengalami masalah dengan adanya media sosial.
"Semua pejabat sekarang main medsos dan Twitter. Tweet-nya itu sebagai pejabat atau pribadi,Campur aduk. Modernisasi peradaban harus memisahkan mana urusan privat dan mana urusan publik. Kalau kita tidak bisa memisahkan kedua hal tersebut, pasti terjadi korupsi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan. Jadi gara-gara medsos ini, sedang berlangsung gejala umum de-institusionalisasi politik," tandas Jimly. Lantas, apa saja langkah yang harus dilakukan agar sistem politik legislatif di Indonesia menjadi lebih baik? Dosen FH UI Fitra Arsil menyarankan agar salah satu caranya dengan melakukan perbaikan dalam proses rekrutmen pejabat publik. "Seorang pejabat publik setidaknya harus mengalami tiga tahapan, yakni tahap seleksi, tahap nominasi, dan pemilu. Dalam tahap seleksi, pejabat tersebut harus memenuhi beberapa persyaratan. Tahap nominasi misalnya semacam pemilihan pendahuluan di internal partai secara demokratis atau
melibatkan masyarakat luas. Baru setelah itu masuk ke stage pemilu," ujar Fitra Arsil mengemukakan pendapatnya.**